Di samping itu, bulan ini juga merupakan bulan di mana semangat mencari ilmu umat Islam semakin tinggi frekwensinya. Hal ini ditandai dengan semaraknya berbagai kegiatan dalam rangka mengisi bulan ini dengan berbagai amal ibadah. Oleh sebab itulah, beragam aktifitas ini akhirnya seakan menjadi sebuah tradisi tahunan.
Di antara tradisi yang mengakar kuat, khususnya di masjid-masjid yang umat Islam sekitarnya umumnya bermazhab Syafi'iyyah adalah membaca niat puasa selepas shalat Tarawih. Lafaz yang masyhur dibaca adalah sebagai berikut:
نويت صوم غد عن أداء فرض شهر رمضان هذه السنة لله تعالى
"Aku berniat berpuasa pada
esok hari sebagai sebuah kewajiban yang dilakukan pada bulan Ramadhan
pada tahun ini dengan mengharap balasan dari Allah Ta’ala." Terkait kontent, tidak ada yang salah dengan lafaz niat ini. Hanya saja kadangkala hanya karena permasalahan yang tidak prinsipil seperti melafalkan niat dan semisalnya, kesucian bulan Ramadhan dapat ternodai.
Bagi yang mengamalkan kadangkala menuduh orang-orang yang tidak mengamalkannya sebagai penganut Wahabi dan gerakan transnasional serta menganggap ibadah puasanya tidak sah.
Di pihak yang lain, yaitu mereka yang tidak mengamalkannya, menganggap apa yang dilakukan orang-orang yang melafazkan niat untuk ibadah tertentu sebagai ahli bid'ah. perselisihan ini seringkali berujung pada saling menyalahkan bahkan membid'ahkah dan akhirnya dapat berdampak pada terputusnya tali ukhuwwah di antara sesama muslim. Bahkan bisa saja antara seorang anak dan bapaknya.
Padahal, hal seperti ini seyogyanya tidak boleh terjadi, jika umat Islam dapat berlapang dada menerima berbagai perbedaan yang tidak bersifat fundamental/prinsip. Apalagi perbedaan semacam ini, merupakan perbedaan klasik, di mana para ulama kita terdahulu telah mencontohkan cara terbaik menyikapi perbedaan ini. yaitu dengan cara saling menghormati pandangan masing-masing.
Di samping itu, sesungguhnya Allah telah memberikan mereka ganjaran pahala kepada masing-masing atas usaha ijtihad yang mereka lakukan. Terlepas benar atau salah hasil ijtihad mereka menurut Allah SWT.
Bagi ijtihad yng benar menurut Allah, maka dua pahala yang dianugrahkan kepadanya, sebaliknya jika salah, ia mendapatkan satu kebaikan berupa satu pahala.
Pandangan Ulama tentang Melafazkan Niat dalam ibadah
Sebagaimana telah disinggung di atas. masalah melafazkan niat untuk setiap ibadah merupakan masalah khilafiah klasik yang tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi sampai terlontar kata-kata kafir, bid'ah, ahli bid'ah, sesat dll.
Terkait hukum melafazkan niat dalam berbagai ibadah, berikut penulis nukilkan pandangan ulama khususnya ulama empat mazhab; Al Hanafiyyah, Al Malikiyyah, Asy Syafi’iyyah dan Al Hanabilah:
Pertama: Mayoritas ulama sepakat bahwa niat itu tempatnya di hati, di mana jika seseorang melafazkan niat untuk ibadah tertentu, namun hatinya tidak menetapkan niat ibadah tersebut atau niat di hatinya untuk ibadah yang lain, maka yang dianggap sah adalah niat yang ada di hati.
Sebagai contoh: jika seseorang di hatinya berniat untuk melaksanakan shalat zhuhur, namun lisannya melafazkan niat shalat ashar maka yang dianggap sah adalah niat yang ada di hatinya. Imam Ad Dardir Al Maliki berkata: "Jika lafaznya bertentangan dengan niat di hatinya, maka yang sah adalah niat di hatinya meskipun lafaznya salah karena lalai, namun jika itu dimaksudkan untuk bermain-main, maka ibadahnya batal.” [1]
Berdasarkan pandangan ini pula, para ulama sepakat mengatakan bahwa tidak disyaratkan sahnya sebuah ibadah dengan melafazkan niat untuk melakukan ibadah tersebut.[2]
Kedua: Adapun hukum terkait melafazkan niat, berikut pandangan mereka:[3]
1. Mazhab Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali (jumhur ulama) sepakat menyatakan bahwa melafazkan niat di setiap ibadah hukumnya sunnah dengan menserasikan antara lafaz niat dengan niat yang ada di hati.
2. Sebagian ulama mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa melafazkan niat hukumnya makruh.
3. Sedangkan mazhab Maliki menyatakan bahwa hukumnya boleh, namun lebih baik ditinggalkan, kecuali bagi orang-orang yang sering was-was, maka disunnahkan melafazkannya, untuk menghilangkan was-was tersebut.
Berdasarkan pandangan ulama di atas, kita dapat memahami bahwa masalah ini termasuk masalah khilafiyyah, di mana lafaz bid'ah dan sejenisnya seyogyanya tidak boleh terlontar dari salah satu pihak kepada pihak yang lain.
Niat Puasa Ramadhan
Terkait konteks ibadah puasa di bulan Ramadhan, para ulama sepakat bahwa menetapkan niat di malam bula Ramadhan termasuk rukun yang menjadi standar sah dan tidaknya puasa yang akan dilakukan. Mereka mendasarinya pada sebuah hadis dari Hafshah bin Umar RA, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
”Barang siapa yang tidak
berniat sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Tirmidzy,
An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad). Dalam fiqih, hal seperti itu diistilahkan dengan tabyit an-niyah (تبييت النية), yaitu memabitkan niat. Maksudnya, niat itu harus sudah terpasang sejak semalam, batas paling akhirnya ketika fajar shubuh hampir terbit.
Namun para ulama sepakat bahwa ketentuan untuk berniat sejak sebelum terbitnya fajar hanya berlaku untuk puasa yang hukumnya fardhu, seperti puasa Ramadhan, puasa qadha’ Ramadhan, puasa nadzar dan puasa kaffarah.
Sedangkan untuk puasa yang bukan fardhu atau puasa sunnah, para ulama sepakat tidak mensyaratkan niat sebelum terbit fajar. Jadi boleh berniat puasa meski telah siang hari asal belum makan, minum atau mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika masuk ke rumah istrinya dan berniat untuk makan, namun ternyata tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Maka kemudian Rasulullah SAW spontan berniat untuk melakukan puasa.
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ ذَاتَ يَوْمٍ فقال: هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ غَدَاء؟ فقُالْنَا: لاَ. قَالَ: فَإِنيِّ إِذاً صَائِم
"Dari Aisyah radhiyallahuanha
berkata bahwa Rasulullah SAW datang kepadaku pada suatu hari dan
bertanya, “Apakah kamu punya makanan?”. Aku menjawab, ”Tidak”.
Beliau lalu berkata, ”Kalau begitu aku berpuasa”. (HR. Muslim) Para ulama menyimpulkan bahwa puasa ini adalah puasa sunnah dan bukan puasa wajib. Sebab kalau seandainya puasa ini puasa wajib, tentunya Rasulullah SAW tidak mungkin siang-siang datang ke rumah istri beliau sambil berniat untuk makan di siang hari.
Wallahua’lam bia ash shawab. http://www.rumahfiqih.com/fikrah/x.php?id=261&=melafazkan-niat-bid%27ahkah-.htm