sekilas tentang Dusun Belencong Dusun belencong adalah kampung halamanku, yang terletak di sebuah pundokan (dataran) di selatan gunung-sari dan utara rembiga, belencong sebuah dusun yg mempunyai 1 sekolah pondok pesantren madrasah Raudlathussibyan NW dan mempunyai pemandangan alam yg sangat indah dan masyarakatnya pun sangat ramah dan sering saling tolong menolong antar sesama, nah ye doang wah juluk nggiih... Di bawah ini adalah pengajian yg saya dapatkan di masjid gunung-sari oleh TGH Munajib Kholid sesela, setiap kali saya menghadiri pengajian saya akan mempostingnya disini walaupun terkadang sy copas dari blog lain tapi intinya sama yg saya dapatkan di pengajian.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Terimakasih telah berkunjung di blog saya yang sederhana ini, semoga bermanfaat bagi kita semua
pertama2 marilah kita mengucapkan puja dan puji syukur kepada ALLAH SWT yang telah memberikan kita kesehatan sampai hari ini, Shalawat dan salam marilah kita sanjungkan kepada junjungan Nabi kita Muhammad saw dan keluarga, sahabat-sahabat serta para pengikutnya, kita bersyukur menjadi ummat nabi Muhammad saw yang banyak di beri kelebihan-kelebihan yang tidak diberikan kepada umat para Rasul2 dan Nabi2 terdahulu daripada Baginda. Marilah kita menjadi muslimin/muslimah sejati sesuai dengan tuntutan agama yang sebenarnya. Marilah kita mengikuti ajaran Rasulullah sepenuh2nya janganlah kita sia2kan

berita terbaru

janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan muslim



Memaknai ayat :”Janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan muslim”

“Maka, janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan muslim”. Pesan ini berarti jangan kamu meninggalkan agama itu walau sesaat pun.

Kalaulah kita akan menyimpulkan pesan dan wasiat Allah bagi setiap manusia, maka kalimat itu adalah: “Sekali-kali janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan muslim” (QS. Ali ‘Imrân 3:102).

Wasiat serupa telah disampaikan Nabi Ibrahim As, yang merupakan Bapak nabi-nabi serta pengumandang akidah Tauhid. Lebih dari itu, beliau melestarikannya kepada generasi berikut. Al-Qur’an suci menguraikan hal itu dengan firman-Nya: Dan Ibrahim telah mewasiatkannya kepada anak-anaknya, demikian pula Ya‘qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu, maka janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan muslim, yakni memeluk agama Islam” (QS. al-Baqarah 2:132).

Wasiat adalah pesan yang disampaikan kepada pihak lain secara tulus, menyangkut suatu kebaikan. Wasiat yang paling tulus adalah yang disampaikan pada saat-saat menjelang kematian, karena ketika itu, kepentingan duniawi sudah tidak menjadi perhatian si pemberi wasiat.

Nabi Ibrahim As. berkata: “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu,” maksudnya, agama ini adalah tuntunan Allah, bukan ciptaanku. Memang banyak agama yang dikenal oleh manusia, tetapi yang ini, yakni yang intinya adalah penyerahan diri secara mutlak kepada-Nya, itulah yang direstui dan dipilih oleh-Nya. Karena itu, maka janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan muslim, yakni berserah diri kepada-Nya dengan memeluk agama Islam.

Pesan ini berarti jangan kamu meninggalkan agama itu walau sesaat pun. Sehingga dengan demikian, kapanpun saatnya kematian datang kepada kamu, kamu semua tetap menganutnya. Kematian tidak dapat diduga datangnya. Jika kamu melepaskan ajaran ini dalam salah satu detik hidupmu, maka jangan sampai pada detik itu kematian datang merenggut nyawamu, sehingga kamu mati tidak dalam keadaan berserah diri. Karena itu, jangan sampai ada saat dalam hidup kamu yang tidak disertai oleh ajaran ini. Demikianlah lebih kurang maksud wasiat Nabi Ibrahim As.

Ada sementara orang yang menduga bahwa Nabi Ibrahim As. adalah orang Yahudi atau Nasrani, dan bahwa anak keturunannya menganut agama selain Islam. Mereka itu dikecam oleh Allah dengan firman-Nya: “Adakah kamu hadir ketika Ya‘qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu; Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS. al-Baqarah 2:133).

Adakah kamu hadir ketika Ya‘qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya …? Demikian pertanyaan ayat di atas yang ditujukan kepada orang-orang yang mengira Ya‘qub cucu Nabi Ibrahim menganut agama selain Islam. Mengapa yang ditanyakan adalah kehadiran mereka pada saat-saat kedatangan tanda-tanda kematiannya? Karena ketika itulah saat-saat terakhir dalam hidup. Itulah saat perpisahan, sehingga tidak ada wasiat lain sesudahnya, dan saat itulah biasanya dan hendaknya wasiat penting disampaikan.

Selanjutnya, ayat di atas menjelaskan wasiat itu dalam bentuk yang sangat meyakinkan. Anak-anak Nabi Ya‘qub ditanyai olehnya Ya‘qub: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami (kini dan akan datang, terus-menerus menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, dan putra Nabi Ibrahim yakni pamanmu yang sepangkat dengan ayahmu yaitu Ismail dan juga ayah kandungmu wahai ayah kami Nabi Ya‘qub, yaitu Ishaq.

Terlihat bahwa jawaban mereka amat gamblang. Bahkan, untuk menghilangkan kesan kemusyrikan yakni bahwa Tuhan yang mereka sembah itu dua atau banyak tuhan – karena sebelumnya mereka berkata: Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu – maka ucapan mereka dilanjutkannya dengan penjelasan bahwa (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh berserah diri kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya, siapa pun selain-Nya itu.”

Nabi Muhammad Saw. pun mengajarkan hal yang sama. Surah Ali ‘Imrân 3:102 menegaskan bahwa: Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa-Nya; yakni jauhi seluruh larangan-Nya dan ikuti perintah-Nya sampai pada batas akhir kemampuan kamu, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri kepada Allah yakni memeluk agama Islam.

Sementara sahabat Nabi Muhammad Saw. memahami arti haqqa tuqâtihi/sebenar-benar takwa-Nya dalam arti menaati Allah dan tidak sekali pun durhaka, mengingat-Nya dan tidak sesaat pun lupa, serta mensyukuri nikmat-Nya dan tidak satu pun yang diingkari. Demikian penafsiran sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas‘ud.

Memang, jika memperhatikan redaksi sebenar-benar takwa-Nya terkesan bahwa ketakwaan yang dituntut itu adalah yang sesuai dengan kebesaran, keagungan dan anugerah Allah swt. Di sisi lain, sunnatullah serta hukum moral menunjukkan dan menuntut Anda memberi sebanyak yang Anda ambil. Lebah memberi madu sebanyak lagi sesuai dengan sari kembang yang diisapnya. Bulan memancarkan cahaya sebanyak lagi sesuai dengan posisinya terhadap matahari, manusia terhadap Allah harus demikian. Sebanyak nikmat-Nya sebanyak itu pula seharusnya pengabdian-Nya.

Untung bahwa Allah swt. menerima yang sedikit dari manusia, sehingga ayat yang tadinya dipahami seperti pemahaman Abdullah Ibnu Mas‘ud di atas, dibatalkan menurut sementara ulama, atau yang lebih tepat dijelaskan maknanya oleh firman-Nya dalam QS. at-Taghâbun [64]: 16: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu.”

Ayat Ali‘Imrân ini menjelaskan batas akhir dan puncak dari takwa yang sebenarnya, sedangkan ayat dalam surah at-Taghâbun berpesan agar tidak meninggalkan takwa sedikit pun, karena pasti setiap orang memiliki kemampuan untuk bertakwa, dan tentu saja kemampuan itu bertingkat-tingkat. Yang penting bertakwalah sepanjang kemampuan, sehingga jika puncak dari takwa yang dijelaskan di atas dapat diraih, maka itulah yang didambakan, tetapi bila tidak, maka Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya.

Dengan demikian, melalui ayat Ali ‘Imrân ini, semua dianjurkan untuk berjalan pada jalan takwa, semua diperintahkan berupaya menuju puncak, dan masing-masing selama berada di jalan itu akan memperoleh anugerah sesuai hasil usahanya masing-masing. Ayat Ali ‘Imrân adalah arah yang dituju, sedang ayat at-Taghâbun adalah jalan yang ditempuh menuju arah itu. Semua harus mengarah ke sana, dan semua harus menempuh jalan itu. Dengan demikian kedua ayat tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi.

Yang jelas terlihat di atas adalah pesan agar tidak mati kecuali dalam keadaan muslim yang berserah diri kepada Allah.

Islam adalah istislâm, yakni penyerahan diri dan kepatuhan, kepatuhan lahir dari adanya keyakinan, keyakinan adalah pembenaran, dan pembenaran adalah pengakuan yang tulus, dan pengakuan tulus membuahkan amal kebiasaan. Amal kebiasaan yang berguna adalah yang lahir dari ketakwaan.

Selanjutnya, kematian dalam keadaan berserah diri kepada Allah antara lain ditandai dengan pengakuan akan keesaan­Nya. Dalam konteks ini Nabi Saw. bersabda: “Siapa yang akhir ucapannya adalah Lâ Ilâha Illâ Allâh, maka ia akan masuk ke surga.”

Sabda Nabi saw tersebut mudah kedengaran hal ini, tetapi Anda jangan memahaminya secara harfiah, kalaupun Anda akan memahaminya demikian, maka hendaklah Anda sadar bahwa seseorang tidak akan mampu menjadikannya akhir ucapannya, jika dalam kesehariannya ia tidak menyesuaikan diri dengan pesan yang dikandung oleh kalimat mulia itu.

“Ya Allah, siapa yang engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah ia dalam keadaan Islam, dan siapa yang engkau wafatkan, maka wafatkanlah ia dalam keadaan Iman.” Semoga kita mampu melaksanakan wasiat dan pesan itu, sampai mengakhiri perjalanan hidup di pentas bumi ini. Demikian wa Allâh a‘lam.
Note
Sumber :
Disunting dari buku “Menjemput Maut” karya M. Quraish Shihab

Wassalamualaikum wr.wb

Tidak ada komentar: